Leonita
Aku sudah dapat kabar dari Ryo lewat henpon, kalau Emi mau
datang ke Siak dalam waktu dekat. Katanya, ia ingin sekali bertemu dengan
teman-teman sekolah SMP dan SMUnya duhulu. Aku terperanjat. Curiga, tak mungkin
dia mau datang. Bukankah dia orang yang super sibuk?
Berselang dua hari, Ryo mengirim sms “Emi tak
jadi ke Siak bulan ini dow, tapi bulan depan!”
Nah, apa kataku, dosen jurusan kesehatan yang mirip orang
arab itu tak mungkin bisa merayau-rayau sembarangan. Dia sudah jadi orang penting
sekarang, dia juga seorang ibu rumah tangga, bukan macam dulu. Seperti waktu
SD; pendiam, tercover dan protektif.
Tak banyak yang kuhafal tentangnya. Nama panjangnya Emi
Leonita, kulit putih, tomboy, bertubuh tinggi dan tidak pandai bergaya. Maklum,
pada zaman itu, anak-anak perempuan gemar main yeye – lompat karet, galah
panjang, mandi parit dan memanjat pohon ceri.
Lebih kurang dua puluh tahun rasanya, kami tak pernah
bertemu. Soal aku tahu dia super sibuk, seorang dosen, ibu rumah tangga dan
mirip orang arab, kudapat infonya lewat facebook dan cerita-cerita dari kawan
saja. Selebihnya, tentang dia aku tak tahu.
Bulan berikutnya, Ryo mengirim sms lagi, “Dosh, Emi dah
sampai di Siak! Sekarang dio masih di bunga raya, kejap lagi sampai”.
“Aih, secepat itu? Dengan tiba-tiba? tanyaku.
“Jam 1 aku jemput!”
“Okeeee, siaap!” kubalas sms.
Aku shalat zuhur lebih awal dari biasanya, lalu, bersiap-siap
di muka pintu, menunggu Ryo menjemput. Seketika, pikiranku melayang mengingat-ingat
temanku Emi itu. Seperti apakah wajahnya jika dilihat dari dekat? Apakah sama
persis macam foto-fotonya di Facebook? Bagaimanakah sesungguhnya dia, sehingga jadi
rebutan para laki-laki itu? Oh, aku terbawa pesona seorang bidadari.
Dua puluh menit,
empat puluh menit, mencapai satu jam kutunggu, Ryo tak ada kabar. Cuaca panas,
aku mulai gerah. Aku kembali ke dalam rumah. Berbaring di kursi.
Isteriku heran “Haa, apo pasal?”
“Entah”
“Tolong buatkan kopi abang” rayuku.
“Hhhmm.....” Isteriku menggeleng.
Kopi hitam nan lezat seduhan isteriku membuat mataku yang
mengantuk, kembali celik. Ini adalah kopi tengah hari yang sahdu, sahdu karena
menunggu!
Tak lama kemudian, Henponku berdering, Yati menelpon “Dimano? Ryo dah nunggu di simpang rumah dikau tu”
terangnya. Segera Aku pamit pada
isteriku untuk menemui Ryo. Tahu-tahu Ryo sudah terpacak di depan pintu. Haha,
dia ketawa.
Ryo pun berdalih, keterlambatannya karena mengerjakan tugas
kantor yang harus disiapkan hari ini juga, membantu mobil kawan yang mendadak mogok
kemudian harus membeli dan mengantar susu untuk anak di rumah.
“Hajab aku pulang balik, tadi”. keluhnya.
***
Bersambung wak..