Minggu, 03 Desember 2017



Leonita

              Aku sudah dapat kabar dari Ryo lewat henpon, kalau Emi mau datang ke Siak dalam waktu dekat. Katanya, ia ingin sekali bertemu dengan teman-teman sekolah SMP dan SMUnya duhulu. Aku terperanjat. Curiga, tak mungkin dia mau datang. Bukankah dia orang yang super sibuk?
             Berselang dua hari, Ryo mengirim sms “Emi tak jadi ke Siak bulan ini dow, tapi bulan depan!”
             Nah, apa kataku, dosen jurusan kesehatan yang mirip orang arab itu tak mungkin bisa merayau-rayau sembarangan. Dia sudah jadi orang penting sekarang, dia juga seorang ibu rumah tangga, bukan macam dulu. Seperti waktu SD; pendiam, tercover dan protektif.
             Tak banyak yang kuhafal tentangnya. Nama panjangnya Emi Leonita, kulit putih, tomboy, bertubuh tinggi dan tidak pandai bergaya. Maklum, pada zaman itu, anak-anak perempuan gemar main yeye – lompat karet, galah panjang, mandi parit dan memanjat pohon ceri.
              Lebih kurang dua puluh tahun rasanya, kami tak pernah bertemu. Soal aku tahu dia super sibuk, seorang dosen, ibu rumah tangga dan mirip orang arab, kudapat infonya lewat facebook dan cerita-cerita dari kawan saja. Selebihnya, tentang dia aku tak tahu.
             Bulan berikutnya, Ryo mengirim sms lagi, “Dosh, Emi dah sampai di Siak! Sekarang dio masih di bunga raya, kejap lagi sampai”.
“Aih, secepat itu? Dengan tiba-tiba? tanyaku.
“Jam 1 aku jemput!”
“Okeeee, siaap!” kubalas sms.
            Aku shalat zuhur lebih awal dari biasanya, lalu, bersiap-siap di muka pintu, menunggu Ryo menjemput. Seketika, pikiranku melayang mengingat-ingat temanku Emi itu. Seperti apakah wajahnya jika dilihat dari dekat? Apakah sama persis macam foto-fotonya di Facebook? Bagaimanakah sesungguhnya dia, sehingga jadi rebutan para laki-laki itu? Oh, aku terbawa pesona seorang bidadari.
             Dua puluh menit, empat puluh menit, mencapai satu jam kutunggu, Ryo tak ada kabar. Cuaca panas, aku mulai gerah. Aku kembali ke dalam rumah. Berbaring di kursi.
Isteriku heran “Haa, apo pasal?”
“Entah”
“Tolong buatkan kopi abang” rayuku.
“Hhhmm.....” Isteriku menggeleng.
             Kopi hitam nan lezat seduhan isteriku membuat mataku yang mengantuk, kembali celik. Ini adalah kopi tengah hari yang sahdu, sahdu karena menunggu!
             Tak lama kemudian, Henponku berdering, Yati menelpon “Dimano? Ryo dah nunggu di simpang rumah dikau tu” terangnya. Segera Aku pamit pada isteriku untuk menemui Ryo. Tahu-tahu Ryo sudah terpacak di depan pintu. Haha, dia ketawa.
            Ryo pun berdalih, keterlambatannya karena mengerjakan tugas kantor yang harus disiapkan hari ini juga, membantu mobil kawan yang mendadak mogok kemudian harus membeli dan mengantar susu untuk anak di rumah.
“Hajab aku pulang balik, tadi”. keluhnya.
***

Bersambung wak..