oleh: dosh kelapapati
“Aku rela jika harus kau duakan, Bang!”
“Setelah Abang menikahi aku nanti, Abang boleh menikah untuk
kedua kali” matanya memelas dan berkaca-kaca. terlihat kecemasan dari ucapan
Ira yang telah menyandarkan kepalanya di bahuku.
Walaupun bibirnya mengucapkan rela,
namun hatinya tak dapat ku pastikan.
Wajah Ira
pias di balik jilbab putih. Sementara aku telah berniat untuk memutuskannya
malam ini juga. Itu karena pertunangan kami tidak di restui orang tua Ira.
dengan alasan masih kuliah dan menunggu hingga aku dapat pekerjaan yang layak
dahulu. Padahal sebenarnya aku cinta mati pada Ira. Tapi karena perkataan orang
tua Ira, maka aku berpikir “Bahwa cinta tak harus memiliki” dan aku tak mau
memaksakan kehendak sendiri, ku ingin agar Ira tunduk pada kemauan orang
tuanya. Itu saja.
***
Sementara aku
hanya terdiam tak sanggup menambah kebimbangan. Malam di pinggir sungai
terdalam di indonesia ini, hatiku luluh dan remuk. Bagaimana mungkin melepaskan
kekasih yang selama tiga tahun telah terjalin? Kubiarkan suasana mencekam jiwa
kami dalam kebisuan. hanya angin. Sementara mata malam merayu-rayu pada
teduhnya pucuk sungai Siak kala itu.
“Sungguh cintaku selama ini tidak main-main, Ira” “ dan aku
ingin sekali kita segera menikah”
“Namun aku tak sanggup melihat masa depanmu gelap”
“Orang tuamu tidak mengizinkan kita cepat menikah, sementara
apa yang kita lakukan telah hampir jatuh ke lembah kenistaan”
“Cukuplah dosa-dosa yang telah ku tulis padamu, dan tak mau
ku tambah lagi”
Usahaku
untuk membuat Ira mengerti dengan keinginan orang tuanya, gagal. Kini ia
semakin terbenam dalam kesedihan. Dengan sadar ia membenturkan kepala ke tembok
sandaran tempat kami duduk sehingga menimbulkan bunyi gemeretak! Seperti
sesuatu yang patah.
“Ra! Apa yang kau lakukan!” aku berusaha menyadarkan, tapi
Ira semakin tak peduli dan terus membenturkan kepalanya.
“Sudah! Sudah! apa kau sudah gila?” sambil ku halangi tembok
dengan kedua telapak tanganku.
“Ya, memang aku gila!” “kau lelaki tak punya hati! teriak
Ira tanpa peduli dengan orang yang berada di sekitar.
“Selama ini kita bersama tanpa ada masalah, tiba-tiba sekarang
kau ingin memutuskan aku?”
“Lebih baik mati daripada kau putuskan aku, Bang” Ira
menatapku tajam penuh harap. Lalu kucoba untuk membuatnya tenang.
“Baiklah, aku minta maaf atas perkataan tadi dan kumohon
jangan menyakiti diri sendiri” ucapku sedikit ragu.
***
Udara malam
kian menusuk, akupun harus takluk pada kenyataan tentang cinta. tak sadar
jalananpun tampak sepi. Waktu terasa begitu cepat, sedangkan masih banyak yang
inginku sampaikan padanya. Tapi ku tak mau menambah sedih hatinya.
Ku antar Ira pulang ke rumahnya
dengan kata-kata yang mungkin dapat menenangkan hati. ku katakan padanya agar
jangan terlalu memikirkan perkataanku itu dan berjanji besok aku akan
menjemputnya pulang kuliah. Kulihat wajah Ira mulai kembali cerah, tatapan
penuh harap sepertinya dapat ku tangkap
dari matanya yang agak sipit. “Janji ya, besok jemput aku” pinta Ira
sungguh-sungguh, sehingga aku terharu namun tidak ku tampakkan. “oke, sampai jumpa besok di
kampus”
Ira segera masuk ke rumahnya dan
ketika sepeda motor ku hidupkan, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam
rumah. “Iraaa!!!”
***
“Iraaa !!!”
suara jeritan dari dalam rumah semakin terdengar pilu menyayat. Aku tersentak, dan
segera menerobos pagar rumah Ira yang kebetulan tidak dikunci. Belum sempat aku
mengetuk pintu rumah untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, kebimbangan
datang menerkam. “Mungkin saja orang tuanya bakal mengusirku mentah-mentah
malam ini” atau “Mungkin bapaknya yang gendut itu akan menelanku bulat-bulat
karena tahu bahwa akulah penyebab semua ini” langkahku gamang dan terasa berat
sekali.
Saat Idul
Fitri sebulan yang lalu, ketika aku menyatakan keinginan untuk melamar Ira dan
ditolak. Ibunya sempat melontarkan jawaban cukup pedas “Walau anak presiden sekalipun
yang datang tetap juga kami belum bisa menerima” “Kami ingin ia (Ira) menyelesaikan
kuliah dan jadi orang” Alhasil, kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di daun
telingaku yang agak kembang ini. Hati patah kala itu, bagai terjungkal dari
puncak gunung himalaya lalu terperosok dilembah curam yang penuh
ranting-ranting tajam dan tersayat-sayat. Untungnya itu diucapkan dengan sangat
sopan. Namun, walaupun diucapkan dengan
sangat sopan dan berwibawa, Kupikir kedua orang tuanya tidak suka padaku karena
hanya akan menghalangi cita-cita anaknya menjadi dokter. Sungguh besar dan mulia
harapan orang tua pada seorang anak.
***
Pukul
sebelas malam belumlah terlalu dingin di kota kecil yang tidak punya pegunungan
ini, tapi tubuhku gemetar. Bau asap pabrik dari corong pembuangan limbah PT.
Siak Raya Timber begitu menyengat hidung. Kerongkongan terasa kering. Seperti orang
terserang demam kura-kura - demam malaria – aku membeku sendiri.
“Tidak..!
“Aku tak boleh hanya diam” “Aku laki-laki, bukannya
pecundang, apapun resiko harus ku tanggung jua” pikirku meyakinkan diri yang
sedang ragu. Lalu perlahan melangkah. Cinta yang tidak main-main didalam hatiku
tumpat. Aku telah berada di depan pintu.
“Kau! Mengapa kesini!” bentak ibu Ira semaunya padaku seraya
menahan isak. Ternyata yang berteriak tadi tak lain adalah Ibunya.
“Maaf, Bu” suaraku tertelan dan tak sanggup menatap matanya.
Aku
melangkah, menelisik keberadaan Ira. Walaupun ibunya menyeringai, Aku tak
peduli.
“Oohh, ternyata kau penyebab semua ini ya?” tanya ibu Ira
menghentikan langkahku.
“Kau apakan anakku!”.
“Kau apakan dia!” sergah Ibu Ira geram.
“Maaf, Bu”. Jawabku agak serak.
“Keluar kau dari rumah ini! Keluarrr!!!” suara Ibu Ira
seperti halilintar, jarinya gemetar menunjuk ke pintu. Aku hanya menunduk.
“Ibu..ibu..”
tiba-tiba terdengar suara pelan sekali dari dalam kamar depan.
Ibu Ira berbalik dan bergegas ke arah suara itu. Perlahan-lahan
aku mengikuti.
Aku
tercegat. Sendi-sendi tulangku terasa ngilu. Tak percaya dengan apa yang
kulihat. Ira tergeletak tak bergerak,
hidungnya berdarah. Ira pingsan.
***
Subuh membingkasku
dari mimpi. Angin dingin menusuk masuk ke kamar kost seukuran warung lontong ini
dari jendela yang menganga, rupanya lupa kukunci. Rasanya baru sebentar aku
terlelap, karena malam tadi sesungguhnya aku tak tidur memikirkan segala hal
tentang Ira. “Dimana Ira?” “Apakah Ira sudah sembuh?” “Atau mungkin saja Ira
sedang memanggil-manggil namaku sekarang ini?” tidak dapat tidak, aku harus
bangun dan menemuinya.
“Mau kemana
dikau subuh buta begini, indra?” Rudi teman sekamarku tiba-tiba menyapa
disebalik selimut yang menyaput tubuhnya. Tak biasanya Rudi bangun subuh.
Biasanya jam tujuh dia bangun, itupun jika ada mata kuliah pagi, kalau tidak
jam sepuluh bangunnya.
“Aku mau bertemu Ira” jawabku mantap sambil mengambil jaket
digantungan baju.
“Apa dikau tak takut di usir lagi sama mak dan ayahnya?” “bisa
jadi tersangka kau nanti” “Jangan terburu-buru mengambil sikap indra, kita
harus bisa membaca arus” nasehat Rudi padaku bak orang suci yang puasa tujuh
hari tujuh malam.
“Ah, tidur sajalah sana, aku harus pergi”
Ucapan Rudi
yang seperti orang mengigau itu tak membuatku mundur. Kuhidupkan sepeda motor
dan segera menuju Rumah Sakit Awal Bros yang ada di jalan Sudirman. “Pinjam
lagi hondamu ya, Rud!” tanpa menunggu jawaban dari Rudi, akupun tancap gas.
Tadi malam, karena pingsan, Ira
langsung dirujuk keluarganya ke rumah sakit. Sebenarnya aku ingin sekali
menemaninya saat itu. Tapi apa daya, orang tuanya mengusir dan melarangku datang
lagi. Sedar akan kesalahan sendiri, aku menunduk dan menurut saja kemauan
mereka. Walaupun hati rasa terhempas-hempas, kutahan jua, karena aku bukanlah
siapa-siapa bagi keluarganya. Namun aku tak putus akal, malam itu, ketika di
jalanan, diam-diam aku mengekori kemana arah Ira akan di bawa, yaitu Rumah Sakit
Awal Bros.
Syahdan, tidak kurang dari dua
puluh menit, aku sudah berada di Rumah Sakit Awal Bros. Tak ada orang, hanya
satpam dan tukang sapu yang tampak di halaman Rumah Sakit terkemuka di kota
ini. Rumah Sakit yang cendrung di desain mirip hotel berbintang lima, pintu
kaca anti pecah menempel indah bertuliskan close. Ternyata hari masih pukul
enam. Wajar masih sepi.
Lama
aku terdiam sambil mencari ikhtiar supaya dapat melihat Ira yang mungkin sedang
terbaring lemas di dalam sana. Hatiku was-was. Ingin kubuka saja pintu kaca itu
dan langsung menengok Ira. “Tapi di ruangan mana? aku tak tahu” ”Bukan sedikit
jumlah kamar di Rumah Sakit ini, bisa-bisa aku tersesat di kamar mayat” “Lagipula,
pasti tukang bersih Rumah Sakit ini akan mengampu karena lantai yang baru di
pel itu ku pijak-pijak,” pikirku dalam hati.
Dalam resah yang tak menentu ini. Tiba-tiba
seorang tua datang menghampiri.
“Sedang menunggu siapa, Nak?” tanya
orang tua berpakaian putih yang tampak sedikit lusuh itu. Wajahnya berseri
seperti baru mengambil air wudu’.
“Eh, saya hanya mau menjenguk
teman, Pakcik” jawabku sambil menggeser tempat duduk.
Tak tahu dari mana datangnya orang
tua ini, tiba-tiba saja sudah duduk disebelahku. Sementara jarum jam di
tanganku sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh menit.
“Pacarmu ya?” seloroh orang tua itu
sambil tersenyum tipis.
“Bukan Pakcik, cuma teman kuliah saja”
“Oh”
“Pakcik juga pernah muda sepertimu,
Nak” “Walau kau coba berbohong namun air mukamu tak dapat disamarkan” sambung
orang tua berjanggut dan mengenakan cita itu lagi.
“Bagaimana Pakcik tahu?” tanyaku
terbata-bata.
“Tak perlulah ku jelaskan” “Cinta
memang membuat kita terkadang nekad mengambil resiko,”
“Betul,
pakcik, hari ini saja aku ada ujian semester di kampus, namun demi menemui Ira,
temanku itu, relalah aku andaipun harus mengulang mata kuliah itu kelak”
kata-kataku begitu saja mengalir seolah orang tua yang baru kukenal ini bukanlah
orang asing lagi bagiku.
“Kau tampak
begitu sungguh-sungguh, Nak”
“Mencintailah
karena Allah saja, dan andai membencipun karena Allah saja”
“Ketika kau
berharap sepenuhnya pada manusia, bersiaplah untuk kecewa” lanjut orang tua itu
serasa memberi petuah. Namun tidakku camkan benar, karena pikiranku hanya tertumpu
pada Ira di dalam sana.
“Pakcik
dari mana?” kilahku mengalihkan pembicaraan.
Belum
sempat ia menjawab pertanyaanku, seseorang yang berpakaian hampir sama
dengannya memanggil dari pinggir jalan. “Maaf, Nak, Pakcik harus pergi” ucapnya
tergesa-gesa dan berlalu bagai terperling.
***
Semilir
angin pagi putus-putus, menepis tubuhku yang resah. aku kembali sendiri
mematung di kursi tunggu. Orang tua tadi sudah pergi entah kemana.
Kulihat pintu kaca Rumah Sakit
terbuka, langsung saja aku masuk.
Tatkala
hendak bertanya kepada perawat petugas jaga, terdengar suara mobil ambulance
bersiung-siung keras sekali. “Ni.. nu..ni..nu…ni..nu,,,!!!”
Mataku
mencari-cari dimana suara ambulance itu. Jantungku berdebar-debar, bukan karena
tak pernah mendengar suara ambulance, tapi ini seperti sesuatu yang lain.
Aku melangkah keluar. Lampu isyarat
berwarna merah ambulance itu menyala-nyala. Lengkingnya terdengar pilu. Yang
aku tahu, itu petanda ada yang meninggal.
Dari ruang belakang Rumah Sakit,
mobil melaju ke jalan raya, lalu berbelok ke kanan. Beberapa orang berkendaraan
mengiringi dari belakang disertai isak tangis.
Jantungku berdebar semakin kencang,
mengguncang-guncang dada. Tulang dan sendiku terasa retak dan ngilu. Aku lemas
sekali, ketika melihat salah satu mobil yang ku kenal mengiringi ambulance itu.
Tak mungkin!!!
***
Semilir angin pagi putus-putus,
menepis tubuhku yang resah. Aku kembali sendiri mematung di kursi tunggu. Orang
tua tadi sudah pergi entah kemana...
...tamat...