Selasa, 25 Oktober 2011

SAMPAN


Dayung tunggal bathin mengibas sesak
Yang kusimpan dibawah jaring

Duduklah bersamaku di sini
Walau panas terik tak terlindung

Hingga wajahmu memerah jenuh
Hampir saban hari

Tunggulah sekejap,

Senin, 24 Oktober 2011

rumput (sajak)

.
Kecup embun menunggu pagi.
Masih basah dalam kenang.
Sebelum sinar datang terang.

Kita bersama kikis.

Dikais kaki-kaki luka.
Di injak tapak-tapak lara. 


Senin, 17 Oktober 2011

SEKELEBAT CINTA

oleh: dosh kelapapati

 
“Aku rela jika harus kau duakan, Bang!”
“Setelah Abang menikahi aku nanti, Abang boleh menikah untuk kedua kali” matanya memelas dan berkaca-kaca. terlihat kecemasan dari ucapan Ira yang telah menyandarkan kepalanya di bahuku. 
Walaupun bibirnya mengucapkan rela, namun hatinya tak dapat ku pastikan.

            Wajah Ira pias di balik jilbab putih. Sementara aku telah berniat untuk memutuskannya malam ini juga. Itu karena pertunangan kami tidak di restui orang tua Ira. dengan alasan masih kuliah dan menunggu hingga aku dapat pekerjaan yang layak dahulu. Padahal sebenarnya aku cinta mati pada Ira. Tapi karena perkataan orang tua Ira, maka aku berpikir “Bahwa cinta tak harus memiliki” dan aku tak mau memaksakan kehendak sendiri, ku ingin agar Ira tunduk pada kemauan orang tuanya. Itu saja.
***
            Sementara aku hanya terdiam tak sanggup menambah kebimbangan. Malam di pinggir sungai terdalam di indonesia ini, hatiku luluh dan remuk. Bagaimana mungkin melepaskan kekasih yang selama tiga tahun telah terjalin? Kubiarkan suasana mencekam jiwa kami dalam kebisuan. hanya angin. Sementara mata malam merayu-rayu pada teduhnya pucuk sungai Siak kala itu.

“Sungguh cintaku selama ini tidak main-main, Ira” “ dan aku ingin sekali kita segera menikah”
“Namun aku tak sanggup melihat masa depanmu gelap”
“Orang tuamu tidak mengizinkan kita cepat menikah, sementara apa yang kita lakukan telah hampir jatuh ke lembah kenistaan”
“Cukuplah dosa-dosa yang telah ku tulis padamu, dan tak mau ku tambah lagi” 

            Usahaku untuk membuat Ira mengerti dengan keinginan orang tuanya, gagal. Kini ia semakin terbenam dalam kesedihan. Dengan sadar ia membenturkan kepala ke tembok sandaran tempat kami duduk sehingga menimbulkan bunyi gemeretak! Seperti sesuatu yang patah.
“Ra! Apa yang kau lakukan!” aku berusaha menyadarkan, tapi Ira semakin tak peduli dan terus membenturkan kepalanya.
“Sudah! Sudah! apa kau sudah gila?” sambil ku halangi tembok dengan kedua telapak tanganku.
“Ya, memang aku gila!” “kau lelaki tak punya hati! teriak Ira tanpa peduli dengan orang yang berada di sekitar.
“Selama ini kita bersama tanpa ada masalah, tiba-tiba sekarang kau ingin memutuskan aku?”
“Lebih baik mati daripada kau putuskan aku, Bang” Ira menatapku tajam penuh harap. Lalu kucoba untuk membuatnya tenang.
“Baiklah, aku minta maaf atas perkataan tadi dan kumohon jangan menyakiti diri sendiri” ucapku sedikit ragu.
***
            Udara malam kian menusuk, akupun harus takluk pada kenyataan tentang cinta. tak sadar jalananpun tampak sepi. Waktu terasa begitu cepat, sedangkan masih banyak yang inginku sampaikan padanya. Tapi ku tak mau menambah sedih hatinya.
Ku antar Ira pulang ke rumahnya dengan kata-kata yang mungkin dapat menenangkan hati. ku katakan padanya agar jangan terlalu memikirkan perkataanku itu dan berjanji besok aku akan menjemputnya pulang kuliah. Kulihat wajah Ira mulai kembali cerah, tatapan penuh  harap sepertinya dapat ku tangkap dari matanya yang agak sipit. “Janji ya, besok jemput aku” pinta Ira sungguh-sungguh, sehingga aku terharu namun tidak ku  tampakkan. “oke, sampai jumpa besok di kampus”
Ira segera masuk ke rumahnya dan ketika sepeda motor ku hidupkan, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam rumah. “Iraaa!!!”
***
            “Iraaa !!!” suara jeritan dari dalam rumah semakin terdengar pilu menyayat. Aku tersentak, dan segera menerobos pagar rumah Ira yang kebetulan tidak dikunci. Belum sempat aku mengetuk pintu rumah untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, kebimbangan datang menerkam. “Mungkin saja orang tuanya bakal mengusirku mentah-mentah malam ini” atau “Mungkin bapaknya yang gendut itu akan menelanku bulat-bulat karena tahu bahwa akulah penyebab semua ini” langkahku gamang dan terasa berat sekali.
            Saat Idul Fitri sebulan yang lalu, ketika aku menyatakan keinginan untuk melamar Ira dan ditolak. Ibunya sempat melontarkan jawaban cukup pedas “Walau anak presiden sekalipun yang datang tetap juga kami belum bisa menerima” “Kami ingin ia (Ira) menyelesaikan kuliah dan jadi orang” Alhasil, kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di daun telingaku yang agak kembang ini. Hati patah kala itu, bagai terjungkal dari puncak gunung himalaya lalu terperosok dilembah curam yang penuh ranting-ranting tajam dan tersayat-sayat. Untungnya itu diucapkan dengan sangat sopan.  Namun, walaupun diucapkan dengan sangat sopan dan berwibawa, Kupikir kedua orang tuanya tidak suka padaku karena hanya akan menghalangi cita-cita anaknya menjadi dokter. Sungguh besar dan mulia harapan orang tua pada seorang anak.
***
            Pukul sebelas malam belumlah terlalu dingin di kota kecil yang tidak punya pegunungan ini, tapi tubuhku gemetar. Bau asap pabrik dari corong pembuangan limbah PT. Siak Raya Timber begitu menyengat hidung. Kerongkongan terasa kering. Seperti orang terserang demam kura-kura - demam malaria – aku membeku sendiri.
            “Tidak..!
“Aku tak boleh hanya diam” “Aku laki-laki, bukannya pecundang, apapun resiko harus ku tanggung jua” pikirku meyakinkan diri yang sedang ragu. Lalu perlahan melangkah. Cinta yang tidak main-main didalam hatiku tumpat. Aku telah berada di depan pintu.
“Kau! Mengapa kesini!” bentak ibu Ira semaunya padaku seraya menahan isak. Ternyata yang berteriak tadi tak lain adalah Ibunya.
“Maaf, Bu” suaraku tertelan dan tak sanggup menatap matanya.
            Aku melangkah, menelisik keberadaan Ira. Walaupun ibunya menyeringai, Aku tak peduli.
“Oohh, ternyata kau penyebab semua ini ya?” tanya ibu Ira menghentikan langkahku.
“Kau apakan anakku!”.
“Kau apakan dia!” sergah Ibu Ira geram.
“Maaf, Bu”. Jawabku agak serak.
“Keluar kau dari rumah ini! Keluarrr!!!” suara Ibu Ira seperti halilintar, jarinya gemetar menunjuk ke pintu. Aku hanya menunduk.
            “Ibu..ibu..” tiba-tiba terdengar suara pelan sekali dari dalam kamar depan.
Ibu Ira berbalik dan bergegas ke arah suara itu. Perlahan-lahan aku mengikuti.

            Aku tercegat. Sendi-sendi tulangku terasa ngilu. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Ira tergeletak tak bergerak,  hidungnya berdarah. Ira pingsan.
***
           
            Subuh membingkasku dari mimpi. Angin dingin menusuk masuk ke kamar kost seukuran warung lontong ini dari jendela yang menganga, rupanya lupa kukunci. Rasanya baru sebentar aku terlelap, karena malam tadi sesungguhnya aku tak tidur memikirkan segala hal tentang Ira. “Dimana Ira?” “Apakah Ira sudah sembuh?” “Atau mungkin saja Ira sedang memanggil-manggil namaku sekarang ini?” tidak dapat tidak, aku harus bangun dan menemuinya.

            “Mau kemana dikau subuh buta begini, indra?” Rudi teman sekamarku tiba-tiba menyapa disebalik selimut yang menyaput tubuhnya. Tak biasanya Rudi bangun subuh. Biasanya jam tujuh dia bangun, itupun jika ada mata kuliah pagi, kalau tidak jam sepuluh bangunnya.
“Aku mau bertemu Ira” jawabku mantap sambil mengambil jaket digantungan baju.
“Apa dikau tak takut di usir lagi sama mak dan ayahnya?” “bisa jadi tersangka kau nanti” “Jangan terburu-buru mengambil sikap indra, kita harus bisa membaca arus” nasehat Rudi padaku bak orang suci yang puasa tujuh hari tujuh malam.

“Ah, tidur sajalah sana, aku harus pergi”

            Ucapan Rudi yang seperti orang mengigau itu tak membuatku mundur. Kuhidupkan sepeda motor dan segera menuju Rumah Sakit Awal Bros yang ada di jalan Sudirman. “Pinjam lagi hondamu ya, Rud!” tanpa menunggu jawaban dari Rudi, akupun tancap gas. 

Tadi malam, karena pingsan, Ira langsung dirujuk keluarganya ke rumah sakit. Sebenarnya aku ingin sekali menemaninya saat itu. Tapi apa daya, orang tuanya mengusir dan melarangku datang lagi. Sedar akan kesalahan sendiri, aku menunduk dan menurut saja kemauan mereka. Walaupun hati rasa terhempas-hempas, kutahan jua, karena aku bukanlah siapa-siapa bagi keluarganya. Namun aku tak putus akal, malam itu, ketika di jalanan, diam-diam aku mengekori kemana arah Ira akan di bawa, yaitu Rumah Sakit Awal Bros.
Syahdan, tidak kurang dari dua puluh menit, aku sudah berada di Rumah Sakit Awal Bros. Tak ada orang, hanya satpam dan tukang sapu yang tampak di halaman Rumah Sakit terkemuka di kota ini. Rumah Sakit yang cendrung di desain mirip hotel berbintang lima, pintu kaca anti pecah menempel indah bertuliskan close. Ternyata hari masih pukul enam. Wajar masih sepi.

  Lama aku terdiam sambil mencari ikhtiar supaya dapat melihat Ira yang mungkin sedang terbaring lemas di dalam sana. Hatiku was-was. Ingin kubuka saja pintu kaca itu dan langsung menengok Ira. “Tapi di ruangan mana? aku tak tahu” ”Bukan sedikit jumlah kamar di Rumah Sakit ini, bisa-bisa aku tersesat di kamar mayat” “Lagipula, pasti tukang bersih Rumah Sakit ini akan mengampu karena lantai yang baru di pel itu ku pijak-pijak,” pikirku dalam hati.  

Dalam resah yang tak menentu ini. Tiba-tiba seorang tua datang menghampiri. 

“Sedang menunggu siapa, Nak?” tanya orang tua berpakaian putih yang tampak sedikit lusuh itu. Wajahnya berseri seperti baru mengambil air wudu’.
“Eh, saya hanya mau menjenguk teman, Pakcik” jawabku sambil menggeser tempat duduk.
Tak tahu dari mana datangnya orang tua ini, tiba-tiba saja sudah duduk disebelahku. Sementara jarum jam di tanganku sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh menit.
“Pacarmu ya?” seloroh orang tua itu sambil tersenyum tipis.
“Bukan Pakcik, cuma teman kuliah saja”
“Oh”
“Pakcik juga pernah muda sepertimu, Nak” “Walau kau coba berbohong namun air mukamu tak dapat disamarkan” sambung orang tua berjanggut dan mengenakan cita  itu lagi.
“Bagaimana Pakcik tahu?” tanyaku terbata-bata.
“Tak perlulah ku jelaskan” “Cinta memang membuat kita terkadang nekad mengambil resiko,”
            “Betul, pakcik, hari ini saja aku ada ujian semester di kampus, namun demi menemui Ira, temanku itu, relalah aku andaipun harus mengulang mata kuliah itu kelak” kata-kataku begitu saja mengalir seolah orang tua yang baru kukenal ini bukanlah orang asing lagi bagiku.

            “Kau tampak begitu sungguh-sungguh, Nak”
            “Mencintailah karena Allah saja, dan andai membencipun karena Allah saja”
            “Ketika kau berharap sepenuhnya pada manusia, bersiaplah untuk kecewa” lanjut orang tua itu serasa memberi petuah. Namun tidakku camkan benar, karena pikiranku hanya tertumpu pada Ira di dalam sana.
            “Pakcik dari mana?” kilahku mengalihkan pembicaraan.
            Belum sempat ia menjawab pertanyaanku, seseorang yang berpakaian hampir sama dengannya memanggil dari pinggir jalan. “Maaf, Nak, Pakcik harus pergi” ucapnya tergesa-gesa dan berlalu bagai terperling.
***
            Semilir angin pagi putus-putus, menepis tubuhku yang resah. aku kembali sendiri mematung di kursi tunggu. Orang tua tadi sudah pergi entah kemana.
Kulihat pintu kaca Rumah Sakit terbuka, langsung saja aku masuk.
            Tatkala hendak bertanya kepada perawat petugas jaga, terdengar suara mobil ambulance bersiung-siung keras sekali. “Ni.. nu..ni..nu…ni..nu,,,!!!”
            Mataku mencari-cari dimana suara ambulance itu. Jantungku berdebar-debar, bukan karena tak pernah mendengar suara ambulance, tapi ini seperti sesuatu yang lain.        
Aku melangkah keluar. Lampu isyarat berwarna merah ambulance itu menyala-nyala. Lengkingnya terdengar pilu. Yang aku tahu, itu petanda ada yang meninggal.
Dari ruang belakang Rumah Sakit, mobil melaju ke jalan raya, lalu berbelok ke kanan. Beberapa orang berkendaraan mengiringi dari belakang disertai isak tangis.
Jantungku berdebar semakin kencang, mengguncang-guncang dada. Tulang dan sendiku terasa retak dan ngilu. Aku lemas sekali, ketika melihat salah satu mobil yang ku kenal mengiringi ambulance itu.
Tak mungkin!!!
***
Semilir angin pagi putus-putus, menepis tubuhku yang resah. Aku kembali sendiri mematung di kursi tunggu. Orang tua tadi sudah pergi entah kemana...



...tamat...           
           

Minggu, 16 Oktober 2011

Puisi-puisi oleh: Aan Zainal Hafid


    Orang-orang Kabut

Orang-orang kabut turun gemulai di daun-daun
Memamah daging bunglon sambil menghitung tahun
“Kini kami kabarkan tentang kematian angkasa,” ucapnya
Dengan segenggam petir di tangannya

Anak-anak hujan berlarian sepanjang jalan layang
Tergiring lunglai ke belantara beton-beton
Sungai-sungai terpelintir di kantong plastik
Dari bibir ranum menetes titik embun

Kini kutahu, ada garis biru di wajah para penipu
Tegak lurus menembus dunia para koboi
Mengepungku di kepurbaan abad silam

Orang-orang kabut memainkan sandi rumput
Dari matanya beterbangan burung-burung laut



                Kucium Hari yang Seksi

Kaki siapa yang tertinggal dalam sejarah yang api ini
Teka-teki silang mengepung para pemain dadu
Wajah bocah yang di dada telah penuh dengan peta buta
Menghamburkan alamat-alamat tak bernama

Dalam tarian tanpa irama, kuselimuti tubuhku di udara
Sebab kecipak air di parit batinku telah diterjemahkan sebagai gelombang
Maka lenguh suaraku mengalun tanpa darah
Dihisap beribu-ribu lintah

Hanya dari ketiak angin kunikmati wangi humus
Tanah leluhur
Dengan keheningan yang lelaki, kucium hari yang seksi
Gairahku menari di lembutnya mulut bumi

Sabtu, 15 Oktober 2011

Perempuan bercadar di tepi pintu

oleh Dosh Kelapapati pada 24 Mei 2011 jam 22:53

Dua purnama lamanya.
Janjimu kau pasti kembali.
Kau tak kembali.

Kalam Ilahi yg ku alun menjelang malam bermakhraj pilu.
Dan embun di ujung mata menitik-nitik rindu.
Tercicir harakat demi harakat dalam tajwid pasrah mengharap.

Janjimu kau pasti kembali.
Kau tak kembali...

Antara pangeran william dan kawanku mail


Sore masih terang benderang, cahaya matahari jatuh lembut ke dahan-dahan pohon jambu air di pekarangan rumah. Langitpun tampak begitu indah dan senang menyambut sang maghrib yang kian hampir. Saat melihat ke ujung langit sebelah barat anak-anak senja pelan dan malu-malu menampakkan sinarnya. Angin sore nan lembut memaksa para kelelawar bangun untuk mempersiapkan perlengkapan berburu malam nanti. Sementara induk-induk ayam sibuk menyeru prajuritnya pulang, pejantan-pejantannya asyik berkokok merayakan kemenangan. Riuh sekali. Begitulah alam, sungguh indah mempesona.
            Di sore ini jugalah tgl: 29 april 2011, telah dilangsungkan sebuah pernikahan yang sungguh meriah dan penuh kemegahan serta gilang gemilang. Luar biasa dan menakjubkan. Di sana, di negeri inggris sana, dialah pangeran William dan kate. Anak dari pengeran Charles dan mendiang lady Diana. Cucu dari ratu Elizabeth dan tentu moyangnya juga orang inggris ras kaukasoit. Namun tetap dari bapak dan ibu yang sama dengan kita yakni Nabi Adam as dan Hawa.
            Semua insan, di belahan dunia manapun, di Negara apapun atau daerah pedalaman sekalipun yang telah dapat menikmati siaran televise atau radio, pasti menyaksikan peristiwa yang bersejarah ini. Mungkin kerana jarang terjadi. Apalagi aku yang tak ada pilihan lain, karena hampir seluruh station tv menyiarkan peristiwa pernikahan itu. Sungguh antusias. Macam menonton final pertandingan sepak bola dunia antara itali vs brazil. Heboh di rumah. Biasalah jika ada orang nikah keluargaku memang ingin banyak tau. Ku bayangkan jika mereka ada di tempat acara resepsi pangeran inggris itu, kata-kata wah tentu tak berhenti di mulut saudara perempuanku ini. Ku dengar dan ikut melihat lewat tv, para penonton di sana berteriak histeris saat kedua mempelai dari kerajaan inggris itu di iring-iringan menuju istana. Istana, terbayang olehku keadaan di dalamnya seperti apakah gerangan? Pasti banyak kamar-kamarnya, wangi ruang tamunya, ruang makan dan toiletnya juga wangi dan bersih mengkilap. Taman bunga nan indah berseri juga ruang masak atau dapur yang tertata rapi. Dan juga pasti ada kolam renang, dan jika begitu pastilah juga di istana itu ada kolam ikan patinnya, ah, mana mungkin pangeran makan ikan patin? Mungkin saja kolam ikan arwana. Alangkah sedap tempat yang bernama istana si pangeran. Tapi bagaimana ngurus istana yang sebesar itu? untuk Menyapu, mengepel, menyiapkan makanan atau membersikan wc, atau mengganti bohlam yang putus. Ini pekerjaan berat. Ku rasa kelak ratu kate akan bersusah payah mengurus keluarganya karena dia belum tau bagaimana susahnya menjadi seorang ibu rumah tangga (IRT).
            Begitu asyik menyaksikan acara sakral nan memukau itu, aku terkenang pada kisah pernikahan temanku mail bin malim. Secara garis besar hampir samalah dengan acara pernikahan sang pengeran dari iggris ini. Sama-sama membuat undangan untuk menjemput tetangga, kerabat dan handai taulan. Jika dalam pernikahan pangeran william ia memakai seragam kebesaran, mail juga memakai pakaian adat melayu lengkap dengan tanjak dan keris. Sedangkan Pangeran tak bawak bedil. Di sini mail tampak lebih garang. Jika pangeran membaca akad atau janji setia di depan hadirin hadirat, mail juga melaungkan akad hanya sekali ulang di depan handai taulan dan saudara maranya. Jika pangeran diarak menaiki kereta kuda nan gagah perkasa dan di iringi puluhan kuda nan gagah berani di sisi depan dan sisi belakangnya, mail di arak hanya berjalan kaki dan di iringi oleh beberapa orang saja teman-teman sepermainan dan saudara maranya, dan itu di lakukan pada tengah hari tepat, saat matahari sedang panas-panasnya atau panas terik. Kasihan mail berpeluh-peluh, namun dia tampak tersenyum. Jika pernikahan pangeran william di meriahkan oleh aksi pesawat yang terbang rendah nan menakjubkan di atas atap istananya, mail hanya di sirami beras berisi uang siling lima ratusan perak dan bunga manggar yang berjatuhan jadi rebutan anak-anak dan ponakannya. Dan ada juga yang melempar pakai bunga rampai, hingga penuh baju pengantin dengan daun pandan. Di tambah sebelum masuk ke dalam rumah harus pula berpantun-pantun. Penat berdirilah si raja sehari itu. Pangeran william memang unggul. dan Jika pengeran william telah selesai melalui acara pernikahannya, dapat di pastikan ia dan istrinya sudah punya rumah pribadi, punya kulkas, mobil, honda matic, tempat tidur yang bagus dan wc yang harum. Sehingga mereka dapat merasakan betul kemeriahan dan kebahagian berumah tangga. Lain dengan mail bin malim, dia harus berpikr keras supaya dapat membawa istrinya ke sebuah rumah sewa dan menghitung sisa duitnya agar dapat membeli paling tidak sebuah tempat tidur dan televisi berwarna. Di tambah lagi saat ini mail hanyalah seorang honorer di sebuah sekolah yang di gaji tiga bulan sekali, kalau tidak ada halangan. Tak cukup sampai disitu, mail juga telah merahasiakan pada mertuanya bahwa duit hantaran belanja kemarin adalah pinjaman dari pamannya yang patut ia kembali apabila sudah jatuh tempo. Begitulah Mail, seorang lelaki nekad. Entah sampai kapan ia dapat memutihkan hutang. Mungkin karena mail mempunyai cinta senyawa pada calon istrinya, maka segala upaya di tempuh.

Bersua
            Mail dan calon istrinya fizah bukan baru sebulan dua bertemu lalu menikah. Awal mereka bertatap muka adalah pada acara tujuh belasan. Saat hari kemerdekaan RI. Mereka sama-sama mengikuti lomba lari goni atau lari karung. Pada saat itu mereka hanyalah anak sekolahan yang baru tamat SD. Mail terkenal dengan kecepatannya dalam setiap babak di perlombaan lari goni. Kalau ia ikut selalu menang dan pulang membawa seperangkat peralatan dapur atau duit dua puluh ribu. Namun pada tujuh belasan kali ini ia tak mampu mempertahankan gelar juaranya. Apa sebab? Karena fizah yang waktu itu juga ikut lomba telah mengalahkannya. Mail kesal juga heran sehingga bertanya-tanya “bagaimana aku bisa di kalahkan oleh seorang perempun”? ini tak mungkin. Tanyanya dalam hati. Perlahan-lahan mail menghampiri fizah lalu bertanya dengan lembut “siapa namamu? Tapi fizah diam.
Mail ingin mengulangi pertanyaannya tapi urung.
“ehm..” mail berbunyi sedikit.
“ehm lagi” fizah menatap.
“mengapa”?
“siapa nama?”
“fizah”
“Oh..”
“rumah dimana”?
“laut, kelapapati laut”
            Mail tak bertanya lagi lalu pergi bersama teman-temannya.
Sejak di kalahkan oleh fizah, mail masih tak percaya akan kekalahannya. Suatu perasaan yang tak biasa menghampiri mail yang masih ingusan itu. Bukan karena kecantikan paras atau keindahan tutur kata sehingga mail memikirkan perempuan itu. Namun karena kekalahan. Mail agak aneh orangnya.
Hari berlalu, musim berganti. Hingga libur panjang usai. mail telah mendaftar dan di terima di sebuah sekolah menengah pertama. SMPN 004 nama sekolahnya. Berdasarkan nomor urut pendaftaran mail di tempatkan di lokal B, yang kebetulan sama dengan lokal di mana fizah berada. Sejak itu mereka berteman seperti juga anak-anak lainnya.
Seiring perjalanan waktu dan semakin kentaranya perubahan emosional anak-anak menuju dewasa atau di sebut masa puber, mail tumbuh sebagai laki-laki yang cool dan pintar. Bak kumbang tanah yang berkilap-kilat. Dan fizah tumbuh menjadi seorang gadis remaja nan rupawan serta sopan. Bagai setangkai bunga melati suci atau seperti putri khayangan (ini bahasa percintaan). Sehingga mail bertambah sering memikirkan perempuan cantik anak pak ustadz itu. Tak tau kapan mulainya dan di mana awalnya, mail merasa senang yang lain ketika dekat fizah. Ini mungkin yang di sebut rahasia cinta atau rahasia hati. Cinta memang banyak merahasiakan. Cinta yang sederhana saja. Hingga pada saatnya mereka disanding di atas pelaminan yang juga sederhana.
            Sore sembunyi, suara azan maghrib terdengar bersahutan. Kurasakan iblis dan setan berlarian menuju sumur atau kamar mandi untuk menghindar dari suara azan. Induk ayam sudah tenang karena anak-anakya telah di temukan. Batang hari di selimuti mega nan merah di ufuk barat. Suasana senja terasa indah bagiku. Lalu televisi di matikan. Dan aku bergegas mengambil wudu untuk pergi ke surau.