Senin, 17 Oktober 2011

SEKELEBAT CINTA

oleh: dosh kelapapati

 
“Aku rela jika harus kau duakan, Bang!”
“Setelah Abang menikahi aku nanti, Abang boleh menikah untuk kedua kali” matanya memelas dan berkaca-kaca. terlihat kecemasan dari ucapan Ira yang telah menyandarkan kepalanya di bahuku. 
Walaupun bibirnya mengucapkan rela, namun hatinya tak dapat ku pastikan.

            Wajah Ira pias di balik jilbab putih. Sementara aku telah berniat untuk memutuskannya malam ini juga. Itu karena pertunangan kami tidak di restui orang tua Ira. dengan alasan masih kuliah dan menunggu hingga aku dapat pekerjaan yang layak dahulu. Padahal sebenarnya aku cinta mati pada Ira. Tapi karena perkataan orang tua Ira, maka aku berpikir “Bahwa cinta tak harus memiliki” dan aku tak mau memaksakan kehendak sendiri, ku ingin agar Ira tunduk pada kemauan orang tuanya. Itu saja.
***
            Sementara aku hanya terdiam tak sanggup menambah kebimbangan. Malam di pinggir sungai terdalam di indonesia ini, hatiku luluh dan remuk. Bagaimana mungkin melepaskan kekasih yang selama tiga tahun telah terjalin? Kubiarkan suasana mencekam jiwa kami dalam kebisuan. hanya angin. Sementara mata malam merayu-rayu pada teduhnya pucuk sungai Siak kala itu.

“Sungguh cintaku selama ini tidak main-main, Ira” “ dan aku ingin sekali kita segera menikah”
“Namun aku tak sanggup melihat masa depanmu gelap”
“Orang tuamu tidak mengizinkan kita cepat menikah, sementara apa yang kita lakukan telah hampir jatuh ke lembah kenistaan”
“Cukuplah dosa-dosa yang telah ku tulis padamu, dan tak mau ku tambah lagi” 

            Usahaku untuk membuat Ira mengerti dengan keinginan orang tuanya, gagal. Kini ia semakin terbenam dalam kesedihan. Dengan sadar ia membenturkan kepala ke tembok sandaran tempat kami duduk sehingga menimbulkan bunyi gemeretak! Seperti sesuatu yang patah.
“Ra! Apa yang kau lakukan!” aku berusaha menyadarkan, tapi Ira semakin tak peduli dan terus membenturkan kepalanya.
“Sudah! Sudah! apa kau sudah gila?” sambil ku halangi tembok dengan kedua telapak tanganku.
“Ya, memang aku gila!” “kau lelaki tak punya hati! teriak Ira tanpa peduli dengan orang yang berada di sekitar.
“Selama ini kita bersama tanpa ada masalah, tiba-tiba sekarang kau ingin memutuskan aku?”
“Lebih baik mati daripada kau putuskan aku, Bang” Ira menatapku tajam penuh harap. Lalu kucoba untuk membuatnya tenang.
“Baiklah, aku minta maaf atas perkataan tadi dan kumohon jangan menyakiti diri sendiri” ucapku sedikit ragu.
***
            Udara malam kian menusuk, akupun harus takluk pada kenyataan tentang cinta. tak sadar jalananpun tampak sepi. Waktu terasa begitu cepat, sedangkan masih banyak yang inginku sampaikan padanya. Tapi ku tak mau menambah sedih hatinya.
Ku antar Ira pulang ke rumahnya dengan kata-kata yang mungkin dapat menenangkan hati. ku katakan padanya agar jangan terlalu memikirkan perkataanku itu dan berjanji besok aku akan menjemputnya pulang kuliah. Kulihat wajah Ira mulai kembali cerah, tatapan penuh  harap sepertinya dapat ku tangkap dari matanya yang agak sipit. “Janji ya, besok jemput aku” pinta Ira sungguh-sungguh, sehingga aku terharu namun tidak ku  tampakkan. “oke, sampai jumpa besok di kampus”
Ira segera masuk ke rumahnya dan ketika sepeda motor ku hidupkan, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam rumah. “Iraaa!!!”
***
            “Iraaa !!!” suara jeritan dari dalam rumah semakin terdengar pilu menyayat. Aku tersentak, dan segera menerobos pagar rumah Ira yang kebetulan tidak dikunci. Belum sempat aku mengetuk pintu rumah untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi, kebimbangan datang menerkam. “Mungkin saja orang tuanya bakal mengusirku mentah-mentah malam ini” atau “Mungkin bapaknya yang gendut itu akan menelanku bulat-bulat karena tahu bahwa akulah penyebab semua ini” langkahku gamang dan terasa berat sekali.
            Saat Idul Fitri sebulan yang lalu, ketika aku menyatakan keinginan untuk melamar Ira dan ditolak. Ibunya sempat melontarkan jawaban cukup pedas “Walau anak presiden sekalipun yang datang tetap juga kami belum bisa menerima” “Kami ingin ia (Ira) menyelesaikan kuliah dan jadi orang” Alhasil, kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di daun telingaku yang agak kembang ini. Hati patah kala itu, bagai terjungkal dari puncak gunung himalaya lalu terperosok dilembah curam yang penuh ranting-ranting tajam dan tersayat-sayat. Untungnya itu diucapkan dengan sangat sopan.  Namun, walaupun diucapkan dengan sangat sopan dan berwibawa, Kupikir kedua orang tuanya tidak suka padaku karena hanya akan menghalangi cita-cita anaknya menjadi dokter. Sungguh besar dan mulia harapan orang tua pada seorang anak.
***
            Pukul sebelas malam belumlah terlalu dingin di kota kecil yang tidak punya pegunungan ini, tapi tubuhku gemetar. Bau asap pabrik dari corong pembuangan limbah PT. Siak Raya Timber begitu menyengat hidung. Kerongkongan terasa kering. Seperti orang terserang demam kura-kura - demam malaria – aku membeku sendiri.
            “Tidak..!
“Aku tak boleh hanya diam” “Aku laki-laki, bukannya pecundang, apapun resiko harus ku tanggung jua” pikirku meyakinkan diri yang sedang ragu. Lalu perlahan melangkah. Cinta yang tidak main-main didalam hatiku tumpat. Aku telah berada di depan pintu.
“Kau! Mengapa kesini!” bentak ibu Ira semaunya padaku seraya menahan isak. Ternyata yang berteriak tadi tak lain adalah Ibunya.
“Maaf, Bu” suaraku tertelan dan tak sanggup menatap matanya.
            Aku melangkah, menelisik keberadaan Ira. Walaupun ibunya menyeringai, Aku tak peduli.
“Oohh, ternyata kau penyebab semua ini ya?” tanya ibu Ira menghentikan langkahku.
“Kau apakan anakku!”.
“Kau apakan dia!” sergah Ibu Ira geram.
“Maaf, Bu”. Jawabku agak serak.
“Keluar kau dari rumah ini! Keluarrr!!!” suara Ibu Ira seperti halilintar, jarinya gemetar menunjuk ke pintu. Aku hanya menunduk.
            “Ibu..ibu..” tiba-tiba terdengar suara pelan sekali dari dalam kamar depan.
Ibu Ira berbalik dan bergegas ke arah suara itu. Perlahan-lahan aku mengikuti.

            Aku tercegat. Sendi-sendi tulangku terasa ngilu. Tak percaya dengan apa yang kulihat. Ira tergeletak tak bergerak,  hidungnya berdarah. Ira pingsan.
***
           
            Subuh membingkasku dari mimpi. Angin dingin menusuk masuk ke kamar kost seukuran warung lontong ini dari jendela yang menganga, rupanya lupa kukunci. Rasanya baru sebentar aku terlelap, karena malam tadi sesungguhnya aku tak tidur memikirkan segala hal tentang Ira. “Dimana Ira?” “Apakah Ira sudah sembuh?” “Atau mungkin saja Ira sedang memanggil-manggil namaku sekarang ini?” tidak dapat tidak, aku harus bangun dan menemuinya.

            “Mau kemana dikau subuh buta begini, indra?” Rudi teman sekamarku tiba-tiba menyapa disebalik selimut yang menyaput tubuhnya. Tak biasanya Rudi bangun subuh. Biasanya jam tujuh dia bangun, itupun jika ada mata kuliah pagi, kalau tidak jam sepuluh bangunnya.
“Aku mau bertemu Ira” jawabku mantap sambil mengambil jaket digantungan baju.
“Apa dikau tak takut di usir lagi sama mak dan ayahnya?” “bisa jadi tersangka kau nanti” “Jangan terburu-buru mengambil sikap indra, kita harus bisa membaca arus” nasehat Rudi padaku bak orang suci yang puasa tujuh hari tujuh malam.

“Ah, tidur sajalah sana, aku harus pergi”

            Ucapan Rudi yang seperti orang mengigau itu tak membuatku mundur. Kuhidupkan sepeda motor dan segera menuju Rumah Sakit Awal Bros yang ada di jalan Sudirman. “Pinjam lagi hondamu ya, Rud!” tanpa menunggu jawaban dari Rudi, akupun tancap gas. 

Tadi malam, karena pingsan, Ira langsung dirujuk keluarganya ke rumah sakit. Sebenarnya aku ingin sekali menemaninya saat itu. Tapi apa daya, orang tuanya mengusir dan melarangku datang lagi. Sedar akan kesalahan sendiri, aku menunduk dan menurut saja kemauan mereka. Walaupun hati rasa terhempas-hempas, kutahan jua, karena aku bukanlah siapa-siapa bagi keluarganya. Namun aku tak putus akal, malam itu, ketika di jalanan, diam-diam aku mengekori kemana arah Ira akan di bawa, yaitu Rumah Sakit Awal Bros.
Syahdan, tidak kurang dari dua puluh menit, aku sudah berada di Rumah Sakit Awal Bros. Tak ada orang, hanya satpam dan tukang sapu yang tampak di halaman Rumah Sakit terkemuka di kota ini. Rumah Sakit yang cendrung di desain mirip hotel berbintang lima, pintu kaca anti pecah menempel indah bertuliskan close. Ternyata hari masih pukul enam. Wajar masih sepi.

  Lama aku terdiam sambil mencari ikhtiar supaya dapat melihat Ira yang mungkin sedang terbaring lemas di dalam sana. Hatiku was-was. Ingin kubuka saja pintu kaca itu dan langsung menengok Ira. “Tapi di ruangan mana? aku tak tahu” ”Bukan sedikit jumlah kamar di Rumah Sakit ini, bisa-bisa aku tersesat di kamar mayat” “Lagipula, pasti tukang bersih Rumah Sakit ini akan mengampu karena lantai yang baru di pel itu ku pijak-pijak,” pikirku dalam hati.  

Dalam resah yang tak menentu ini. Tiba-tiba seorang tua datang menghampiri. 

“Sedang menunggu siapa, Nak?” tanya orang tua berpakaian putih yang tampak sedikit lusuh itu. Wajahnya berseri seperti baru mengambil air wudu’.
“Eh, saya hanya mau menjenguk teman, Pakcik” jawabku sambil menggeser tempat duduk.
Tak tahu dari mana datangnya orang tua ini, tiba-tiba saja sudah duduk disebelahku. Sementara jarum jam di tanganku sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh menit.
“Pacarmu ya?” seloroh orang tua itu sambil tersenyum tipis.
“Bukan Pakcik, cuma teman kuliah saja”
“Oh”
“Pakcik juga pernah muda sepertimu, Nak” “Walau kau coba berbohong namun air mukamu tak dapat disamarkan” sambung orang tua berjanggut dan mengenakan cita  itu lagi.
“Bagaimana Pakcik tahu?” tanyaku terbata-bata.
“Tak perlulah ku jelaskan” “Cinta memang membuat kita terkadang nekad mengambil resiko,”
            “Betul, pakcik, hari ini saja aku ada ujian semester di kampus, namun demi menemui Ira, temanku itu, relalah aku andaipun harus mengulang mata kuliah itu kelak” kata-kataku begitu saja mengalir seolah orang tua yang baru kukenal ini bukanlah orang asing lagi bagiku.

            “Kau tampak begitu sungguh-sungguh, Nak”
            “Mencintailah karena Allah saja, dan andai membencipun karena Allah saja”
            “Ketika kau berharap sepenuhnya pada manusia, bersiaplah untuk kecewa” lanjut orang tua itu serasa memberi petuah. Namun tidakku camkan benar, karena pikiranku hanya tertumpu pada Ira di dalam sana.
            “Pakcik dari mana?” kilahku mengalihkan pembicaraan.
            Belum sempat ia menjawab pertanyaanku, seseorang yang berpakaian hampir sama dengannya memanggil dari pinggir jalan. “Maaf, Nak, Pakcik harus pergi” ucapnya tergesa-gesa dan berlalu bagai terperling.
***
            Semilir angin pagi putus-putus, menepis tubuhku yang resah. aku kembali sendiri mematung di kursi tunggu. Orang tua tadi sudah pergi entah kemana.
Kulihat pintu kaca Rumah Sakit terbuka, langsung saja aku masuk.
            Tatkala hendak bertanya kepada perawat petugas jaga, terdengar suara mobil ambulance bersiung-siung keras sekali. “Ni.. nu..ni..nu…ni..nu,,,!!!”
            Mataku mencari-cari dimana suara ambulance itu. Jantungku berdebar-debar, bukan karena tak pernah mendengar suara ambulance, tapi ini seperti sesuatu yang lain.        
Aku melangkah keluar. Lampu isyarat berwarna merah ambulance itu menyala-nyala. Lengkingnya terdengar pilu. Yang aku tahu, itu petanda ada yang meninggal.
Dari ruang belakang Rumah Sakit, mobil melaju ke jalan raya, lalu berbelok ke kanan. Beberapa orang berkendaraan mengiringi dari belakang disertai isak tangis.
Jantungku berdebar semakin kencang, mengguncang-guncang dada. Tulang dan sendiku terasa retak dan ngilu. Aku lemas sekali, ketika melihat salah satu mobil yang ku kenal mengiringi ambulance itu.
Tak mungkin!!!
***
Semilir angin pagi putus-putus, menepis tubuhku yang resah. Aku kembali sendiri mematung di kursi tunggu. Orang tua tadi sudah pergi entah kemana...



...tamat...           
           

3 komentar: