Leonita
(sambungan)
Matahari bersinar terang, awan tersusun rapi di atas langit.
Istana Asserayah Al hasimiyah siang itu tampak pucat. Seekor burung elang putih
terbang rendah melintasi sungai, dalam sekejap sudah bertengger di sebatang
pohon leban serdang yang tinggi di seberang sungai, desa Mempura. Sang Elang diam
disitu, mengawasi riak sungai jantan yang sedang surut. Matanya yang tajam, setajam
ingatannya akan kisah kejayaan Kerajaan Siak Sri Indrapura dahulu kala.
Bendera dan umbul-umbul berjejer di sepanjang jalan,
berlenggak-lenggok di kibas angin. Agak kedepan, di gedung mahratu para pejabat
dan masyarakat berkerumunan. Hari ini sedang diadakan sebuah event tahunan berskala
internasional yaitu, Tour The Siak tahun 2017. Ramai dan Meriah.
Karena keterlambatan kami, ternyata, Emi dan kawan-kawannya
mahasiswa dan mahasiswi bimbingan kkn-sudah berada di dalam Istana. Mereka sedang
berfoto-foto disana.
Setelah memarkirkan kendaraan, aku dan Ryo menemui Yati yang
juga baru datang. Lalu kami langsung menyusul ke dalam Istana. Di gerbang pintu
masuk Istana, tiba-tiba aku dihinggapi perasaan canggung dan grogi yang
menimbulkan perasaan gemuruh di dalam dada. Namun kulangkahkan saja kaki
mengikuti Ryo dari belakang.
Demi menatapnya, saat berada di jarak lebih kurang tujuh
meter, kakiku tak mampu bergerak. Ketika Ryo dan Yati menghampirinya, aku malah
menghampiri seorang bapak yang sedang asik melihat-lihat foto Sultan yang
terpajang di dinding Istana. Dengan gaya sok kenal, aku menanyai sang bapak ini
itu, sambil mencuri-curi pandang. Belum bisa kupercaya, bahwa dia depan mataku
saat ini, jelas sekali, setelah puluhan tahun. Dia berdiri disana dengan
gemulai. Banyak yang berubah darinya. Dia sekarang, umpama putri salju dalam
cerita kartun!
Aku terus saja bercakap-cakap dengan bapak tadi. Perlahan-lahan,
rasa canggungku mereda. Tatkala Ryo, Yati, Emi dan kawan-kawannya mulai
bergerak pindah lokasi untuk berfoto di cermin-cermin nan tinggi milik kerajaan,
aku pamit kepada sang bapak tadi, lalu bergabung bersama mereka. Ikutan
foto-foto.
Emi tampak senang mengobrol dengan Yati. Ryo hanya senyum-senyum,
entah apa yang di pikirkannya. Sembari mengumpulkan kepercayaan diri dan
membetulkan topi, kuhampiri Emi, hingga jarak yang tadinya tujuh meter menjadi lima
jengkal. Kamipun bersalaman. Benar kata Ryo tempo hari, Seperti es aku mencair.
“Dia cantik luar biasa!”.
“Sudah foto di
komet?” tanyaku pada Emi, sebagai pembuka kata juga penawar rasa canggung.
“Belum, dimana tu?” balasnya bersemangat. Matanya berseri-seri
meskipun terlihat agak lelah. Kecuali itu, Dia serupa magnet yang membuatku untuk
terus mengikuti tiap langkahnya.
“Lewat sini” Kuraih tangannya menuju sebuah gramafon besar
di bagian timur ruang Istana. Tak kuperhatikan benar wajahnya seperti apa kala
itu. Yang kurasakan hanyalah, ternyata tangannya sangat lembut, macam busa
sabun mandi. Untuk pertama kalinya dan mungkin juga untuk terakhir kali, aku
meraih dan menggenggam tangannya. Tentu saja ini hanya hayalanku, kawan, hal
itu tak pernah terjadi.
Usai berfoto di dalam Istana, dilanjutkan foto di luar
Istana hingga di depan pentas Mahratu. Selama berfoto-foto itulah ku sempat-sempatkan
untuk bercakap-cakap dan bertanya banyak hal kepada Emi. Prihal kegiatan dan
kesibukkannya sekarang, bagaimana dia bisa jadi pembimbing mahasiswa, sudah
berapa orang anak, dan pertanyaan-pertanyaan klasik lainnya.
Belum habis pertanyaan dan masih banyak yang ingin kudengarkan
darinya secara langsung. Tiba-tiba Ryo menyampaikan;
“Orang ni nak balek”
‘Hah! cepatnyo” aku tercegat.
“Kami mau pulang ke
pekanbaru, lagi”
“Sudah jam lima, takut kemalaman sampai di Pekanbaru” sambung
Emi yang bersiap untuk pamit.
Rencananya hendak kuajak dia sekedar duduk ngopi sambil menikmati
senja di pinggir sungai siak ini agak beberapa saat. Karena obrolan sambil
berfoto-foto tadi, seperti makan sambil berdiri, tidak mengenyangkan. Tapi apa
boleh buat, Emi sudah bersalaman pamit dengan Yati dan Ryo, tak mungkin aku
menolak saat ia menjulurkan tangannya padaku sembari mengucapkan “Terima kasih
banyak ye, senang dapat bertemu kalian semua. See u next time”
“Jalan-jalanlah ke Pekan” imbuhnya.
***
Mobil yang di tumpangi Emi perlahan meninggalkan aku dan Ryo
yang terpaku di trotoar jalan pas depan Istana. Sebuah lambaian syahdu lewat
kaca mobil darinya memanah hati. Aku terkesiap, secepat inikah? Tak lama mobil
itu menghilang. Antara sadar dan tidak, aku seperti orang linglung. Ryo seperti
orang hilang ingatan.
“Santai” ujarnya.
#selesai#