Jumat, 22 Maret 2019



                                                                      Leonita 
(sambungan)
              
             Matahari bersinar terang, awan tersusun rapi di atas langit. Istana Asserayah Al hasimiyah siang itu tampak pucat. Seekor burung elang putih terbang rendah melintasi sungai, dalam sekejap sudah bertengger di sebatang pohon leban serdang yang tinggi di seberang sungai, desa Mempura. Sang Elang diam disitu, mengawasi riak sungai jantan yang sedang surut. Matanya yang tajam, setajam ingatannya akan kisah kejayaan Kerajaan Siak Sri Indrapura dahulu kala.
              Bendera dan umbul-umbul berjejer di sepanjang jalan, berlenggak-lenggok di kibas angin. Agak kedepan, di gedung mahratu para pejabat dan masyarakat berkerumunan. Hari ini sedang diadakan sebuah event tahunan berskala internasional yaitu, Tour The Siak tahun 2017. Ramai dan Meriah.
Karena keterlambatan kami, ternyata, Emi dan kawan-kawannya mahasiswa dan mahasiswi bimbingan kkn-sudah berada di dalam Istana. Mereka sedang berfoto-foto disana.
Setelah memarkirkan kendaraan, aku dan Ryo menemui Yati yang juga baru datang. Lalu kami langsung menyusul ke dalam Istana. Di gerbang pintu masuk Istana, tiba-tiba aku dihinggapi perasaan canggung dan grogi yang menimbulkan perasaan gemuruh di dalam dada. Namun kulangkahkan saja kaki mengikuti Ryo dari belakang.
                Demi menatapnya, saat berada di jarak lebih kurang tujuh meter, kakiku tak mampu bergerak. Ketika Ryo dan Yati menghampirinya, aku malah menghampiri seorang bapak yang sedang asik melihat-lihat foto Sultan yang terpajang di dinding Istana. Dengan gaya sok kenal, aku menanyai sang bapak ini itu, sambil mencuri-curi pandang. Belum bisa kupercaya, bahwa dia depan mataku saat ini, jelas sekali, setelah puluhan tahun. Dia berdiri disana dengan gemulai. Banyak yang berubah darinya. Dia sekarang, umpama putri salju dalam cerita kartun!
                Aku terus saja bercakap-cakap dengan bapak tadi. Perlahan-lahan, rasa canggungku mereda. Tatkala Ryo, Yati, Emi dan kawan-kawannya mulai bergerak pindah lokasi untuk berfoto di cermin-cermin nan tinggi milik kerajaan, aku pamit kepada sang bapak tadi, lalu bergabung bersama mereka. Ikutan foto-foto.
                Emi tampak senang mengobrol dengan Yati. Ryo hanya senyum-senyum, entah apa yang di pikirkannya. Sembari mengumpulkan kepercayaan diri dan membetulkan topi, kuhampiri Emi, hingga jarak yang tadinya tujuh meter menjadi lima jengkal. Kamipun bersalaman. Benar kata Ryo tempo hari, Seperti es aku mencair. “Dia cantik luar biasa!”.  
“Sudah foto di komet?” tanyaku pada Emi, sebagai pembuka kata juga penawar rasa canggung.
“Belum, dimana tu?” balasnya bersemangat. Matanya berseri-seri meskipun terlihat agak lelah. Kecuali itu, Dia serupa magnet yang membuatku untuk terus mengikuti tiap langkahnya.
“Lewat sini” Kuraih tangannya menuju sebuah gramafon besar di bagian timur ruang Istana. Tak kuperhatikan benar wajahnya seperti apa kala itu. Yang kurasakan hanyalah, ternyata tangannya sangat lembut, macam busa sabun mandi. Untuk pertama kalinya dan mungkin juga untuk terakhir kali, aku meraih dan menggenggam tangannya. Tentu saja ini hanya hayalanku, kawan, hal itu tak pernah terjadi.
                 Usai berfoto di dalam Istana, dilanjutkan foto di luar Istana hingga di depan pentas Mahratu. Selama berfoto-foto itulah ku sempat-sempatkan untuk bercakap-cakap dan bertanya banyak hal kepada Emi. Prihal kegiatan dan kesibukkannya sekarang, bagaimana dia bisa jadi pembimbing mahasiswa, sudah berapa orang anak, dan pertanyaan-pertanyaan klasik lainnya.
                 Belum habis pertanyaan dan masih banyak yang ingin kudengarkan darinya secara langsung. Tiba-tiba Ryo menyampaikan;
“Orang ni nak balek”
‘Hah! cepatnyo” aku tercegat.
 “Kami mau pulang ke pekanbaru, lagi”
“Sudah jam lima, takut kemalaman sampai di Pekanbaru” sambung Emi yang bersiap untuk pamit.
                   Rencananya hendak kuajak dia sekedar duduk ngopi sambil menikmati senja di pinggir sungai siak ini agak beberapa saat. Karena obrolan sambil berfoto-foto tadi, seperti makan sambil berdiri, tidak mengenyangkan. Tapi apa boleh buat, Emi sudah bersalaman pamit dengan Yati dan Ryo, tak mungkin aku menolak saat ia menjulurkan tangannya padaku sembari mengucapkan “Terima kasih banyak ye, senang dapat bertemu kalian semua. See u next time”
“Jalan-jalanlah ke Pekan” imbuhnya.
                                                                       ***
                 Mobil yang di tumpangi Emi perlahan meninggalkan aku dan Ryo yang terpaku di trotoar jalan pas depan Istana. Sebuah lambaian syahdu lewat kaca mobil darinya memanah hati. Aku terkesiap, secepat inikah? Tak lama mobil itu menghilang. Antara sadar dan tidak, aku seperti orang linglung. Ryo seperti orang hilang ingatan.
“Santai” ujarnya.
  
                                                                                                          

#selesai#

Minggu, 03 Desember 2017



Leonita

              Aku sudah dapat kabar dari Ryo lewat henpon, kalau Emi mau datang ke Siak dalam waktu dekat. Katanya, ia ingin sekali bertemu dengan teman-teman sekolah SMP dan SMUnya duhulu. Aku terperanjat. Curiga, tak mungkin dia mau datang. Bukankah dia orang yang super sibuk?
             Berselang dua hari, Ryo mengirim sms “Emi tak jadi ke Siak bulan ini dow, tapi bulan depan!”
             Nah, apa kataku, dosen jurusan kesehatan yang mirip orang arab itu tak mungkin bisa merayau-rayau sembarangan. Dia sudah jadi orang penting sekarang, dia juga seorang ibu rumah tangga, bukan macam dulu. Seperti waktu SD; pendiam, tercover dan protektif.
             Tak banyak yang kuhafal tentangnya. Nama panjangnya Emi Leonita, kulit putih, tomboy, bertubuh tinggi dan tidak pandai bergaya. Maklum, pada zaman itu, anak-anak perempuan gemar main yeye – lompat karet, galah panjang, mandi parit dan memanjat pohon ceri.
              Lebih kurang dua puluh tahun rasanya, kami tak pernah bertemu. Soal aku tahu dia super sibuk, seorang dosen, ibu rumah tangga dan mirip orang arab, kudapat infonya lewat facebook dan cerita-cerita dari kawan saja. Selebihnya, tentang dia aku tak tahu.
             Bulan berikutnya, Ryo mengirim sms lagi, “Dosh, Emi dah sampai di Siak! Sekarang dio masih di bunga raya, kejap lagi sampai”.
“Aih, secepat itu? Dengan tiba-tiba? tanyaku.
“Jam 1 aku jemput!”
“Okeeee, siaap!” kubalas sms.
            Aku shalat zuhur lebih awal dari biasanya, lalu, bersiap-siap di muka pintu, menunggu Ryo menjemput. Seketika, pikiranku melayang mengingat-ingat temanku Emi itu. Seperti apakah wajahnya jika dilihat dari dekat? Apakah sama persis macam foto-fotonya di Facebook? Bagaimanakah sesungguhnya dia, sehingga jadi rebutan para laki-laki itu? Oh, aku terbawa pesona seorang bidadari.
             Dua puluh menit, empat puluh menit, mencapai satu jam kutunggu, Ryo tak ada kabar. Cuaca panas, aku mulai gerah. Aku kembali ke dalam rumah. Berbaring di kursi.
Isteriku heran “Haa, apo pasal?”
“Entah”
“Tolong buatkan kopi abang” rayuku.
“Hhhmm.....” Isteriku menggeleng.
             Kopi hitam nan lezat seduhan isteriku membuat mataku yang mengantuk, kembali celik. Ini adalah kopi tengah hari yang sahdu, sahdu karena menunggu!
             Tak lama kemudian, Henponku berdering, Yati menelpon “Dimano? Ryo dah nunggu di simpang rumah dikau tu” terangnya. Segera Aku pamit pada isteriku untuk menemui Ryo. Tahu-tahu Ryo sudah terpacak di depan pintu. Haha, dia ketawa.
            Ryo pun berdalih, keterlambatannya karena mengerjakan tugas kantor yang harus disiapkan hari ini juga, membantu mobil kawan yang mendadak mogok kemudian harus membeli dan mengantar susu untuk anak di rumah.
“Hajab aku pulang balik, tadi”. keluhnya.
***

Bersambung wak..